BI BORONG SURAT UTANG PEMERINTAH 132T DEMI JAGA RUPIAH, APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH BITCOINERS?
Blok 904500 – “Ketika negara mulai membeli utangnya sendiri dengan uang yang tidak ia hasilkan, maka runtuhnya bukan soal jika—tetapi kapan.”
I. RITUAL GELAP YANG BERULANG DAN FASAD YANG RUNTUH ‘MENJAGA RUPIAH’ ATAU MENJAGA ILUSI
Di balik meja-meja perundingan, diselimuti jargon teknokratik dan senyuman diplomatik, Bank Indonesia, institusi moneter tertinggi negeri ini, baru saja menggelontorkan Rp132,9 triliun untuk memborong surat utang pemerintah. Alasan resminya:
“Menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.”
Dalam bahasa halus: “untuk stabilisasi nilai tukar dan likuiditas”.
Tujuan utama BI adalah:
- Menstabilkan nilai tukar Rupiah
- Menjaga likuiditas pasar keuangan
- Membantu pemerintah dalam pembiayaan fiskal (secara implisit)
Dengan dalih stabilitas. Dengan nama “intervensi pasar”. Dengan narasi menyelamatkan Rupiah dari ketidakpastian global.
Namun di balik itu, tersirat satu hal: BI kembali “mencetak uang” secara terselubung untuk mendanai negara. Dalam bahasa kasarnya:
“Mereka mencetak uang untuk membeli utangnya sendiri.”
Dalam situasi gejolak global dan tekanan terhadap Rupiah, BI hadir sebagai penopang terakhir (lender of last resort) agar Rupiah tidak tumbang.
Langkah ini sekilas tampak heroik. Namun seperti semua mantra sihir kuno yang menipu rakyat: Ini adalah dosis baru dari candu yang sudah terlalu lama kita hirup — uang fiat.
Namun di balik narasi diplomatis ini, tersembunyi krisis kepercayaan sistemik—sebuah keputusasaan terselubung terhadap arsitektur keuangan yang mereka bangun sendiri. Ketika bank sentral membeli utang negaranya sendiri, itu bukan sekadar transaksi pasar. Itu adalah aksi penyelamatan diri.
Karena apa? Karena tidak ada cukup investor yang percaya untuk membiayai utang itu secara alami. Pasar mulai lelah dengan ilusi nilai yang dibentuk dari kata-kata, bukan dari kerja nyata.
Bank sentral hari ini bukan lagi penjaga nilai uang. Ia telah menjadi dealer terakhir dari utang tidak produktif.
Dalam jangka panjang, tindakan ini memiliki implikasi yang lebih menyeramkan daripada sekadar “penurunan nilai tukar”. Ini bukan solusi. Ini morfin yang diberikan kepada pasien kritis. Ia menenangkan, tapi tidak menyembuhkan.
II. INFLASI: PAJAK YANG TIDAK PERNAH DISETUJUI
Pada hari itu, daya beli 270 juta jiwa dirampas secara perlahan. Karena setiap lembar surat utang yang dibeli BI dengan “uang baru” —adalah pencetakan waktu palsu.
Memborong surat utang pemerintah berarti satu hal: mencetak likuiditas baru. Ketika bank sentral membeli surat utang pemerintah, ia menambahkan likuiditas ke sistem. Artinya, lebih banyak Rupiah beredar tanpa nilai riil yang meningkat.
Ini bukan uang hasil produksi, bukan dari keringat petani, bukan dari laba pengusaha. Ini adalah uang eks-nihilo, ciptaan dari mesin digital bernama “quantitative easing” versi tropis. Dan semua ini akan bermuara pada satu konsekuensi tidak terelakkan:
Inflasi.
Inflasi bukan sekadar naiknya harga. Ia adalah pajak tersembunyi yang dibayar oleh rakyat untuk kesalahan negara. Dalam bahasa yang lebih kejam:
“Rakyat dibuat miskin agar sistem tetap bisa bernafas.”
Adalah perampokan senyap atas kerja keras manusia.
“Inflasi bukan kenaikan harga. Itu penurunan nilai dari waktu, tenaga, dan hidup manusia yang diukur dalam mata uang palsu.”
Ketika BI membeli surat utang pemerintah, mereka memompa lebih banyak Rupiah ke dalam sistem. Dan seperti hukum gravitasi, semakin banyak uang tanpa nilai, semakin kecil daya beli uang tersebut.
Uang Anda, yang hari ini cukup untuk membeli 10 kg beras, tahun depan hanya bisa membeli 7 kg. Bukan karena beras langka. Tapi karena kepercayaan pada Rupiah semakin larut bersama inflasi yang disangkal.
III. OPERASI PSIKOLOGI MASSA: RAKYAT DISURUH OPTIMIS, PADAHAL MEREKA SEDANG DIRAMPOK
Pemerintah akan menyebut ini sebagai intervensi pasar demi stabilitas makroekonomi. Mereka akan keluarkan jargon seperti “cushioning mechanism”, “market neutrality” dan “fiscal synergy.”
Tapi itu semua adalah opium intelektual untuk membius publik agar tetap percaya pada uang kertas yang nilainya dikorbankan untuk menjaga citra negara.
Apa yang sebenarnya terjadi?
- Negara butuh utang untuk menutup defisit.
- Investor asing mulai skeptis: bunga tinggi, risiko tinggi.
- BI masuk sebagai penyelamat harga.
- Rupiah “stabil” secara semu.
- Tapi uang baru mengalir ke pasar.
- Harga naik pelan, rakyat tiak sadar cepat.
- Sistem berjalan, rakyat menua dalam kemiskinan diam-diam.
IV. KEBENARAN YANG TIDAK POPULER: INFLASI AKAN JADI BIAYA YANG DIBAYAR RAKYAT
Ketika bank sentral membeli surat utang pemerintah, ia menambahkan likuiditas ke sistem. Artinya, lebih banyak Rupiah beredar tanpa nilai riil yang meningkat. Ekonomi menyebutnya: monetary inflation.
Inflasi bukan hanya tentang harga naik. Inflasi adalah ketika uang kamu bisa membeli lebih sedikit dari sebelumnya. Uang kertas tidak berubah bentuk, tapi berubah makna dan nilai. Yang hilang bukanlah kertasnya, tapi daya belinya.
“Ketika kamu menabung dalam Rupiah, kamu sebenarnya menyimpan dalam sebuah ember yang bocor.”
Bank Indonesia berharap dengan memborong surat hutang ini, mereka menjaga stabilitas. Tapi mereka lupa: stabilitas yang dibeli dengan hilangnya purchasing power bukanlah stabilitas sejati. Itu hanyalah penundaan krisis yang lebih besar.
Dampak Langsung & Tidak Langsung
Jangka Pendek: Stabilitas Semu
- Nilai tukar Rupiah mungkin terlihat “terkendali”.
- Likuiditas di pasar uang meningkat.
- Pemerintah tetap bisa membiayai belanja dan utang.
Jangka Menengah–Panjang:
Inflasi & Pelemahan Rupiah. BI membeli SBN = BI menyuntik likuiditas = Uang baru disirkulasikan = Inflasi meningkat.
Efek Makroekonomi:
- Uang beredar bertambah tanpa produktivitas meningkat.
- Inflasi akan menggerus daya beli masyarakat.
- Suku bunga riil bisa menjadi negatif.
- Rupiah kehilangan nilai terhadap aset nyata (real asset) seperti emas, properti, dan tentu saja: Bitcoin.
Analisa Struktural: “Modern Monetary Trap”
Apa yang dilakukan BI adalah bentuk dari monetary repression modern, di mana:
- Negara tidak sanggup memenuhi kebutuhan fiskalnya dari pajak atau efisiensi.
- Akhirnya, bank sentral dipaksa membeli utang pemerintah.
- Ini pernah terjadi di Argentina, Venezuela, Zimbabwe.
“Ketika negara harus membayar hutang dengan mencetak uang, itu bukan strategi. Itu tanda krisis yang disamarkan.”
V. KERAJAAN YANG SUDAH TUA, SISTEM YANG MENUNGGU AMBRUK
Seperti Kekaisaran Romawi yang terus mencetak koin dengan kadar emas makin tipis,
atau seperti Argentina yang mencetak Peso hingga nilainya jadi bahan lelucon.
Rezim Fiat sedang panik.
Negara tidak bisa mengatur belanja, maka ia memaksa bank sentral menjadi kasirnya. Dan ketika akuntansi berubah menjadi alkimia, maka kehancuran menjadi keniscayaan.
VI. BITCOINERS: PARA PENGHUNI SENYAP DI DALAM KUBU GELAP
Bitcoiners, Mereka tidak teriak. Mereka tidak demo. Mereka tidak minta dispensasi dari sistem yang mereka tahu akan hancur. Mereka keluar. Mereka bangun sistem baru. Mereka disebut banyak nama: Fanatik. Kultis. Anti-sosial. Bodoh dan Gila versi penganut Fiat. Tapi sejarah kelak menyebut mereka dengan satu nama:
“Architects of Sovereignty”
Bagi mereka yang masih menabung dalam Rupiah, ini adalah tanda bahaya. Bagi Bitcoiners, ini adalah bukti bahwa kita berada di jalur yang benar. Sistem sedang mencair. Mata uang sedang kehilangan jiwa. Ini bukan saatnya menjadi penonton. Ini saatnya menjadi pelindung nilai dan pelopor perlawanan.
Apa yang harus dilakukan oleh para Bitcoiners?
1. Perkuat Strategi “EXIT FROM FIAT”
Fiat rupiah akan makin melemah. Simpan kekayaan dalam aset dengan pasokan tetap (Fixed Supply Asset), Bitcoin adalah yang paling murni (21 juta selamanya). Konversikan kelebihan FIAT-mu menjadi Bitcoin secara bertahap (DCA), bukan spekulatif.
2. Kembali ke Akar: HODL is Not a Meme — It’s a Strategy
Saat negara memproduksi uang tanpa batas, para Bitcoiner kembali kepada prinsip: kelangkaan absolut. Bitcoin tidak bisa dicetak lebih dari 21 juta. Artinya, ia tidak tunduk pada kehendak negara, partai politik, atau kebijakan darurat. HODL adalah bentuk perlawanan. Diam, tapi menentukan.
3. Perkuat DCA — Saat Likuiditas Longgar, Ambil Nilai Nyata
BI mencetak, pasar inflasi, harga komoditas naik. Tapi dalam kekacauan ini ada celah:
“Gunakan mata uang lemah untuk mengakumulasi aset kuat.”
Jika pemerintah memberikan “diskon” Bitcoin dengan menurunkan nilai Rupiah, ambil kesempatan itu. DCA bukan hanya taktik teknikal, ia adalah pola pikir anti-krisis.
4. Tingkatkan Proof-of-Work Pribadi
Gunakan tenaga dan waktumu untuk menghasilkan pendapatan berbasis skill global, freelance, remote work, bisnis digital, ekspor digital. Gunakan penghasilan FIAT untuk membeli Bitcoin, bukan konsumsi.
5. Bangun “Purchasing Power” Alternatif
Nilai uang fiat bisa dikikis inflasi, tapi Bitcoin: Nilainya naik terhadap fiat dalam jangka panjang. Mengkonservasi nilai kerja kerasmu. Bitcoin adalah Vault of Time:
“Keringatmu hari ini tak akan sia-sia 5 tahun ke depan, jika kamu menabungnya dalam bentuk Bitcoin.”
6. Edukasi Komunitas — Satu-satunya Jalan Selamat adalah Kesadaran Kolektif
Jangan hanya menyelamatkan diri. Jelaskan ke teman-teman, keluarga, komunitas:
“Mereka tidak mencetak makanan. Mereka tidak mencetak emas. Tapi mereka mencetak uang. Dan Bitcoin adalah satu-satunya pagar terhadap kehancuran itu.”
Edukasi bukan gaya hidup. Ia adalah perisai. Jangan hanya hold, tapi juga:
- Edukasi keluarga soal inflasi dan alternatifnya.
- Bangun ekonomi kecil berbasis komunitas yang memprioritaskan Bitcoin sebagai bentuk pembayaran/tabungan.
- Dorong “cetak kekayaan digital”, bukan uang fiat.
7. Jangan Terjebak Narasi Resmi
Media arus utama akan menyampaikan bahwa “Rupiah stabil”, “Kondisi makro aman”. Tapi Bitcoiners tahu: stabilitas fiat adalah ilusi yang dibangun dari utang dan pencetakan uang. The real metric adalah:
- Purchasing Power
- Cost of Living
- Value of Time
8. Hidup Seperti Revolusioner yang Menyamar
Jangan cari pengakuan. Jangan kejar validasi media. Jadilah seperti bayangan: menyusup, mengedukasi, dan bertahan.
VII. BERTAHAN DALAM KEKACAUAN DAN KEBIJAKSANAAN SEORANG BITCOINER
Seperti yang dikatakan Jordan Peterson,
“Kalau hidup ini adalah neraka, maka tanggung jawab kita bukan sekadar bertahan, tapi menyelamatkan jiwa dari api.”
Maka kamu tidak hanya menabung Bitcoin. Kamu sedang menjaga nurani zaman. Menolak untuk bersekutu dengan sistem yang mengikis jiwa dan daya hidup manusia. Dan menanamkan nilai sejati — satu blok demi satu blok.
Bank sentral adalah api yang memanaskan ilusi. Bitcoin adalah es yang membekukan nilai sejati.
“The obstacle is the way.” — Marcus Aurelius
Dalam konteks ini: inflasi adalah jalan menuju kesadaran moneter. Dan Bitcoin adalah jawaban dari kesadaran itu. Hari ini, negara membakar uang demi jaga muka. Tapi Bitcoiner tidak ikut menari dalam pesta api itu. Mereka berjalan ke arah lain, diam, terencana, dan kaya dalam sunyi.
Aksi BI memborong SBN Rp132,9 triliun adalah tanda jelas negara masuk mode survival. Uang terus dicetak untuk menutup lubang fiskal. Inflasi diam-diam akan menjadi pajak tersembunyi bagi rakyat.
“Don’t fight the system. Exit the system.”